Pada hakikatrnya, Islam sebetulnya tidak memberatkan seseorang dalam menentukan mahar yang diberikan untuk menikahi Perempuan. Namun, sebagai umat Muslim yang taat, tentunya kita tetap tidak boleh melanggar segala ketentuan syariat, terutama tidak memberikan mahar yang dilarang di dalam Islam itu sendiri.
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa ada beberapa jenis mahar yang dilarang dalam Islam. Yaitu mahar yang berupa jenis kelamin, maksudnya adalah nikah syigar. Nikah syigar itu sendiri berarti seorang lelaki menikahi wanita dengan syarat mahar yang dijadikan pernikahan tersebut adalah anak wanita laki-laki untuk menikah dengan wali wanita yang ia nikahi.
Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa para ulama sepakat, contoh nikah yang satu ini adalah seorang lelaki menikahkan seorang wanita yang ada dalam perwaliannya kepada seorang lelaki dengan syarat orang tersebut menikahkan wanita yang berada dalam perwaliannya itu dengannya tanpa mas kawin pada pernikahan kedua tersebut.
Sehingga, dalam hal ini mas kawinnya adalah alat kelamin yang dipertukarkan tersebut, inilah yang menjadikan para ulama bersepakat bahwa nikah syigar hukumnya haram. Namun, apakah pernikahan seperti itu bisa sah bila disertai dengan mahar mitsil?
Berdasarkan pendapat dari Imam Malik, hal demikian tetap tidak bisa dan harus dibatalkan. Baik itu sesudah maupun sebelum terjadi dukhul. Imam Syafii juga setuju dengan pendapat ini, namun neliau juga berpendapat apabila untuk salah satu pengantin baru atau keduanya sekaligus disebutkan ada mas kawin, maka pernikahannya dianggap sah dengan mahar mitsil.
Nilai mahar mitsilnya sama atau hamper sama dengan nilai mahar yang pernah diterima oleh keluarga, saudara serta tetangganya. Dan mas kawin yang telah disebutkan itu tidak berlaku. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah Syighar sah dengan memberikan mahar mitsil. Inilah pendapat Al-Laits, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan At-Thabari.
Adapun arti dari Mahar Mitsil itu sendiri adalah Mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum maupun ketika terjadi pernikahan, dan disesuaikan menurut jumlah dan bentuk yang biasa diterima keluarga pihak istri karena tidak ditentukan sebelumnya dalam akad nikah.
Wallahu’alam bishawab.
Penulis : elis